Dodi sudah lama berpuisi. Menurut pengakuannya, sejak dari sekolah menengah pertama. Dia juga tampil membacakan puisi-puisinya. Tapi, dia belum pernah mendokumentasi kannya menjadi sebuah buku. Dia lebih suka kalau puisi itu dibacakan di berbagai tempat, daripada dicetak. Saya sering mendorongnya agar karya puisi tersebut dibukukan. Karena kebanggaan seorang penyair, antara lain, bila puisinya bisa dibaca banyak orang.
Saya katakan juga, puisi-puisinya indah dan kuat dalam pengolahan kata. Namun, dia sering pula menolak secara halus. Akhirnya, waktu pula yang menentukan. Dia akhirnya mengalah. Jadilah buku yang kini di tangan anda. Dodi memang bukan penyair kalengan. Dia piawai memainkan kata-kata. Meski bahasa puisinya sering menyentak dan mengagetkan –terutama jika dia tampil membacanya – tapi selalu dalam taraf kesatuan dan enak dinikmati. Tak melulu keras dan serius. Terkadang selembut roti. Hingga, bisa dimakan dan dikunyah.
Saya sering terkagum-kagum dengan lirik dan batang tubuh syairnya. Seolah tak puas menikmati bait demi baik. Kadang, dah hampir klimaks membaca, dia menyudahi puisinya begitu saja. Wah, memang penyair yang selalu membuat saya penasaran. -A Aris Abeba, Penyair/Imam Panggung Toktan
Menikmati puisi-puisi Dodi, seperti minum jahe pahit merah di siang hari. Menyengat, pedas, susah ditelan dan anyir. Tapi, itulah mungkin kekuatan puisinya. Ia meloncat dari satu tema ke tema yang lain dengan bahasa berbeda. Saya suka genre puisi jenis ini. Puisi yang tidak cengeng, bersemangat dan sering pula menerjang menggebu-gebu, tanpa ujung di jalan buntu.
Saya sering mengamati banyak karya penyair Riau, Indonesia bahkan penyair Asean. Namun gaya penyuguhan puisi-puisi Dodi memang beda. Dia selalu membuat bahasanya sendiri. Bahasa yang berdasarkan realitas sosial yang dia kemas dengan gaya dan pengalamannya. Karena dia juga seorang Anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) di kampungnya (Kabupaten Indragiri Hulu) Riau, maka kadang dia jadi deklator yang selalu mengeritik. Puisinya penuh sapah serapah agar semuanya bisa diubah dengan cepat. Kadang dia tahu, mengubah tak semudah membalik telapak tangan. Tapi itu, tetap dia lakukan dengan bahasa kias dan santun tentunya. -Herman Rante, Penyair dan Akademisi