menatah-sayang

Kumpulan Puisi Bebas Melata Menatah Sayang

Ilham ditumpahkan menjadi karya semahu-mahunya, sesantai-
santainya kerana ‘Bebas Melata’ tiada tarikh luput. Tiada batas
dan tiada sekatan untuk menulis. Hasil karya semata-mata untuk
dijadikan peninggalan pusaka kepada anak-anak cucu dan generasi
akan datang. Mungkin akan menjadi khazanah keluarga sendiri
yang membanggakan setelah penulisnya sudah tiada lagi di dunia
fana ini.

Dengan adanya karya-karya penulis dalam siri ‘Bebas Melata’ ini,
mereka (yang jumlahnya hanya 21 orang) dapat berkenalan dengan
lebih rapat dan mesra. Semoga pertemanan itu dibawa ke syurga.
‘Bebas Melata’ tetap Melata demi kasih dan sayang dengan tebaran
CINTA-NYA.

sakinah

Mengecap Sakinah Memaknai Nikah

Buku ini terbit sebagai bentuk rasa syukur saya karena dikelilingi oleh guru-guru hebat. Mereka bukan hanya tukang ngajar, tapi mereka semua adalah pejuang. Mereka yang mengajarkan saya arti kehidupan. Mungkin terdengar klise, tapi memang begitulah adanya.

Banyak pelajaran-pelajaran hidup yang saya dapatkan dari mereka. Oleh karena itu, sebagai bentuk rasa syukur tadi, saya ingin orang lain juga turut merasakannya, terkhusus buat mereka yang membaca buku ini. Saya mengharapkan bahwa kemanfaatan yang saya rasakan dapat pula dirasakan oleh yang lain.

pesajian

PESAJIAN (Kumpulan Puisi Palu Patah)

Dodi sudah lama berpuisi. Menurut pengakuannya, sejak dari sekolah menengah pertama. Dia juga tampil membacakan puisi-puisinya. Tapi, dia belum pernah mendokumentasi kannya menjadi sebuah buku. Dia lebih suka kalau puisi itu dibacakan di berbagai tempat, daripada dicetak. Saya sering mendorongnya agar karya puisi tersebut dibukukan. Karena kebanggaan seorang penyair, antara lain, bila puisinya bisa dibaca banyak orang.


Saya katakan juga, puisi-puisinya indah dan kuat dalam pengolahan kata. Namun, dia sering pula menolak secara halus. Akhirnya, waktu pula yang menentukan. Dia akhirnya mengalah. Jadilah buku yang kini di tangan anda. Dodi memang bukan penyair kalengan. Dia piawai memainkan kata-kata. Meski bahasa puisinya sering menyentak dan mengagetkan –terutama jika dia tampil membacanya – tapi selalu dalam taraf kesatuan dan enak dinikmati. Tak melulu keras dan serius. Terkadang selembut roti. Hingga, bisa dimakan dan dikunyah.


Saya sering terkagum-kagum dengan lirik dan batang tubuh syairnya. Seolah tak puas menikmati bait demi baik. Kadang, dah hampir klimaks membaca, dia menyudahi puisinya begitu saja. Wah, memang penyair yang selalu membuat saya penasaran. -A Aris Abeba, Penyair/Imam Panggung Toktan      
Menikmati puisi-puisi Dodi, seperti minum jahe pahit merah di siang hari. Menyengat, pedas, susah ditelan dan anyir. Tapi, itulah mungkin kekuatan puisinya. Ia meloncat dari satu tema ke tema yang lain dengan bahasa berbeda. Saya suka genre puisi jenis ini. Puisi yang tidak cengeng, bersemangat dan sering pula menerjang menggebu-gebu, tanpa ujung di jalan buntu.


Saya sering mengamati banyak karya penyair Riau, Indonesia bahkan penyair Asean. Namun gaya penyuguhan puisi-puisi Dodi memang beda. Dia selalu membuat bahasanya sendiri. Bahasa yang berdasarkan realitas sosial yang dia kemas dengan gaya dan pengalamannya. Karena dia juga seorang Anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) di kampungnya (Kabupaten Indragiri Hulu) Riau, maka kadang dia jadi deklator yang selalu mengeritik. Puisinya penuh sapah serapah agar semuanya bisa diubah dengan cepat. Kadang dia tahu, mengubah tak semudah membalik telapak tangan. Tapi itu, tetap dia lakukan dengan bahasa kias dan santun tentunya. -Herman Rante, Penyair dan Akademisi