fathurrahman-karyadi-bersama_241105145545-451

Gerbang Peradaban Jalur Rempah di Pesisir Utara Jawa

Jalur Rempah Nusantara tidak hanya berperan sebagai jalur perdagangan.

JAKARTA — Pada 10 Oktober 2024, Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menggelar seminar bertajuk ‘Pengaruh Jalur Rempah di Pesisir Utara Jawa’.

Acara ini diadakan di Premiere Hotel Tegal dan dihadiri oleh berbagai kalangan seperti pegiat literasi, budayawan, akademisi, penulis, pustakawan, dan komunitas lainnya yang memiliki minat pada sejarah dan kebudayaan Nusantara.

Seminar tersebut dibuka dengan sambutan oleh Dr. Restu Gunawan, M.Hum., Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, dan dilanjutkan dengan keynote speech dari Dr. H. Abdul Fikri Faqih, Wakil Ketua Komisi X DPR RI. Selain itu, beberapa narasumber turut berbagi pandangan, termasuk M. Fikri Hidayatullah dan Dwi Intan Afidah keduanya dari Politeknik Harapan Bersama Tegal, serta saya sendiri yang menyampaikan presentasi dengan tema ‘Dari Nusantara untuk Dunia’.

Presentasi ini menyoroti sebuah fakta penting yang jarang disadari oleh banyak orang, yaitu bahwa Jalur Rempah Nusantara tidak hanya berperan sebagai jalur perdagangan, tetapi juga sebagai kekuatan penggerak sejarah dunia.

alur ini menghubungkan manusia, barang, dan ide antar benua, menjadikannya lebih dari sekadar rute ekonomi. Jalur rempah menjadi ruang pertemuan peradaban di mana ilmu, budaya, dan teknologi dipertukarkan. Jalur rempah, dengan kekayaan komoditas seperti pala, cengkeh, dan kayu manis, menjadi simbol kekayaan alam Nusantara dan menempatkan kawasan ini sebagai pusat perhatian dunia sejak abad pertengahan hingga era kolonial.

Sebagai tempat peleburan berbagai gagasan dan nilai, Jalur Rempah memainkan peran besar dalam menciptakan memori kolektif yang hingga kini menandai Nusantara sebagai pusat pertemuan peradaban dunia. Nusantara, yang saat itu dikenal sebagai “Kepulauan Rempah”, menarik perhatian dunia internasional, baik dari bangsa-bangsa di Timur Tengah, Eropa, hingga Asia Timur. Inilah yang kemudian mengukuhkan peran strategis Nusantara sebagai poros maritim dalam sejarah dunia.

Sejumlah catatan sejarah membuktikan pentingnya peran Nusantara dalam jalur rempah global. Kitab ‘Aja’ib al-Makhluqat wa-Ghara’ib al-Mawjudat karya Zakariya ibn Muhammad al-Qazwini (1203-1283) menyebutkan Nusantara sebagai kawasan yang luar biasa dengan kekayaan sumber dayanya. Begitu pula catatan perjalanan Ibn Battuta (1304-1368), seorang cendekiawan dan penjelajah asal Maroko, yang mencatat kunjungannya ke Aceh pada 1345. Di sana, ia bertemu dengan Sultan Al-Malikul Zahir Jamaludin, penguasa Samudra Pasai yang dikenal sebagai seorang Muslim yang saleh dan berperan penting dalam pengembangan Islam di Nusantara.

Tak hanya itu, karya-karya seni dan peta kuno seperti yang dibuat oleh Theodore de Bry (1528-1598) menggambarkan Jawa atau Nusantara sebagai titik pusat peradaban dunia dalam Jalur Rempah. Peta tersebut menunjukkan betapa pentingnya Nusantara dalam konteks perdagangan global, di mana kapal-kapal dagang dari Belanda dan Eropa meninggalkan Amsterdam pada abad ke-16 dan 17 untuk berlayar ke ‘The Spices Island’ atau Kepulauan Rempah.

Sebagai contoh nyata, peninggalan arkeologis berupa perahu kuno di Desa Punjulharjo, Rembang, yang diperkirakan dibuat pada abad ke-7 Masehi, menandakan bahwa wilayah ini telah menjadi pusat perdagangan maritim yang penting jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Perahu ini memiliki panjang 15 meter dan lebar 5 meter, dan terbuat dari kayu ulin menggunakan teknik penyambungan papan yang canggih pada masanya.

Dalam seminar ini, saya juga menyoroti buku-buku yang diterbitkan oleh Kemendikbud pada 2020 dan oleh BRIN pada 2023 yang memperkuat penelitian terkait Jalur Rempah Nusantara, memberikan wawasan tentang pengaruh budaya, agama, dan ekonomi yang dihasilkan dari jalur ini.

Salah satu fokus utama adalah bagaimana Jalur Rempah memiliki dampak langsung pada pesisir utara Jawa, yang merupakan salah satu pusat utama perdagangan rempah di Nusantara. Setidaknya, ada delapan pengaruh Jalur Rempah di Pesisir Utara Jawa sebagaimana berikut ini:

Pertama, terbentuknya pelabuhan sebagai pusat perdagangan

Pelabuhan-pelabuhan strategis di pesisir utara Jawa seperti Cirebon, Semarang, Demak, Lasem, Tuban, dan Gresik menjadikan Jawa sebagai pusat perdagangan internasional, memfasilitasi aliran barang, budaya, dan ide dari berbagai penjuru dunia.

Kedua, peran sentral Walisongo

Tokoh-tokoh Walisongo hidup, mengajar, dan wafat di pesisir utara Jawa. Mereka memainkan peran penting dalam penyebaran Islam dan menjadikan wilayah ini pusat pendidikan dan spiritualitas. 

Ketiga, perjalanan haji melalui jalur laut

Pelabuhan di pesisir utara menjadi titik keberangkatan jamaah haji yang berlayar ke Mekah, memperkuat hubungan antara Jawa dengan dunia Islam yang lebih luas.

Keempat, komunitas muslim yang didominasi kaum santri

Komunitas Muslim di pesisir seringkali dipimpin oleh para santri, pelajar agama yang menjadi pemain kunci dalam dinamika sosial dan keagamaan di wilayah tersebut.

Kelima, maraknya lembaga pendidikan agama tradisional

Pesisir utara Jawa menyaksikan tumbuhnya banyak pesantren yang menjadi pusat studi agama dan pelestarian ilmu pengetahuan, terutama ilmu keislaman, yang menjadi fondasi penting dalam pendidikan di Indonesia.

Keenam, pembangunan rumah peribadatan kuno

Pembangunan masjid, gereja, dan kelenteng di wilayah pesisir utara Jawa melambangkan perpaduan arsitektur lokal dengan pengaruh luar yang kuat, mencerminkan interaksi budaya yang terjadi di sepanjang Jalur Rempah.

Ketujuh, pembangunan infrastruktur kolonial Belanda

Pembangunan Jalan Raya Pos (Jalan Daendels) oleh VOC di sepanjang pesisir utara memfasilitasi kontrol Belanda atas perdagangan rempah, serta meningkatkan mobilitas dan transportasi masyarakat setempat.

Terakhir kedelapan, pergeseran aksara Jawa ke aksara Arab dan Latin

Dengan berkembangnya Islam, aksara Arab mulai menggantikan aksara Jawa, terutama dalam konteks keagamaan, seiring dengan maraknya teks-teks Islam yang ditulis dalam bahasa Arab.

Pada akhirnya, pengaruh Jalur Rempah di pesisir utara Jawa tidak hanya terbatas pada aspek perdagangan, tetapi juga melibatkan perkembangan budaya, agama, ekonomi, dan sosial. Sejumlah kota di Jawa Tengah, termasuk Tegal, memainkan peran penting dalam perdagangan rempah dan menerima pengaruh besar dari interaksi global ini.

Peninggalan-peninggalan budaya, seperti rumah ibadah, seni pertunjukan, kuliner, dan arsitektur yang masih bertahan hingga kini, menjadi bukti nyata dari kekayaan sejarah yang dibawa oleh Jalur Rempah. Pantai Utara Jawa, dengan berbagai pengaruhnya, adalah salah satu pusat penting peradaban yang tidak boleh dilupakan dalam sejarah Nusantara.

Peneliti Jalur Rempah, Anggota Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), dan Ketua Warisan Naskah Nusantara.

Oleh : Fathurrochman Karyadi*

Sumber: REPUBLIKA.CO.ID

WhatsApp Image 2024-10-22 at 2.42.29 PM

SENI MEMBUKA MATA SEJARAH JALUR REMPAH

Ditemani oleh Dr. Tara Desjardins, Kurator di Museum of Islamic Art (MIA) Doha Qatar, kami berkeliling membaca lanskap Indonesia tempo dulu. Ada banyak benda bersejarah yang seakan berbicara kepada kami bahwa “Nusantara sedari dulu adalah bangsa yang besar maka ini perlu diwariskan dan dilanjutkan kembali”.

Salah satu yang amat menarik ialah soal “spice route”. Jalur perdagangan rempah-rempah telah menjadi salah satu jalur perdagangan utama sepanjang sejarah, membentang dari abad ketiga hingga kedelapan Hijriah, yang bersamaan dengan abad kesepuluh hingga abad keempat belas Masehi.

Ini merupakan rute perdagangan yang sangat penting, menghubungkan berbagai wilayah di Asia dengan Timur Tengah dan Eropa. Kemunculan jalur perdagangan rempah-rempah pada abad ke-3 hingga ke-8 Hijriah atau abad ke-10 hingga ke-14 Masehi telah memainkan peran penting dalam pertukaran budaya, ekonomi, dan politik antarbangsa.

Jalur perdagangan rempah-rempah juga dibuka oleh bangsa Portugis pada abad kesembilan dan kesepuluh Masehi, serta pada abad kelima belas dan keenam belas Masehi. Salah satu bukti penting dari jalur perdagangan ini adalah bangkai kapal karam Cirebon yang menjadi saksi bisu dari kejayaan dan kejatuhan perdagangan rempah-rempah di masa lalu.

Sebagai catatan, Museum of Islamic Art (MIA) dibuka pada 2008 sebagai salah satu proyek awal dari Qatar Museums. Terletak di pulau buatan sekitar 60 meter dari Corniche, MIA menawarkan pemandangan menakjubkan kota Doha dan telah menjadi simbol arsitektur yang mencolok di tepi pantai.

MIA memiliki berbagai galeri yang memamerkan koleksi seni Islam dari Asia, Eropa, dan Afrika, termasuk karya-karya dari abad ke-7 Masehi. Koleksi permanen MIA mencakup lebih dari 1.400 tahun sejarah dan termasuk berbagai barang, mulai dari manuskrip hingga perhiasan.

Terima kasih kepada otoritas budaya di Indonesia; Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, dan Qatar; Years of Culture 2023 yang telah mengajak kami membuka mata kepala dan mata batin kami ini.

Salam
Bekasi, 25 Maret 2024
Atunk F Karyadi

WhatsApp Image 2024-06-24 at 4.26.11 PM

Seni Belajar Rempah Nusantara

Sebelum menjadi ilmuwan akademik, Saka paham bahwa dirinya harus menjadi ilmuwan organik dan manusia pra-mekanik (baca: tradisional). Dia perlu belajar tentang alam raya dengan segala pengamatan pancaindranya secara langsung.

Kemarin, kami bermain syahdu di bawah pohon Pala. Daunnya yang mungil dan pohonnya yang cukup rindang, menapis cahaya matahari dan menyaring angin udara radikal. Seru sekali kami berputar-putar dan berlarian mengelilingi pohon sarat sejarah itu.

Malam harinya, ketika kami bercerita ke Mbah Saka, ternyata Mbah juga menyimpan stok rempah-rempah itu. Tak hanya ingin pegang dan menghirup aromanya, bahkan anak 19 bulan itu menjilat biji pala yang sudah dikeringkan. Mukanya masam, mungkin dia merasakan getir aneh di bibirnya. Rempah yang lain juga diperlihatkan Mbah, ada lada, kayu manis, kapulaga, dan kembang lawang atau pekak.

Menarik diulik, rempah pala digunakan dalam berbagai hidangan untuk memberikan aroma dan rasa yang khas. Selain itu, rempah ini juga memiliki nilai historis dan budaya penting, serta digunakan dalam obat tradisional untuk keperluan medis.

Indonesia adalah salah satu produsen terbesar rempah pala di dunia, dengan Maluku dan Papua sebagai daerah utama penghasilnya. Pala telah menjadi bagian integral dari budaya dan sejarah Nusantara, dan kontribusinya terhadap kuliner dan industri rempah dunia cukup signifikan.

Bukti arkeologis menunjukkan bahwa pala telah diperdagangkan dan digunakan oleh bangsa Mesir kuno sekitar 1500 SM. Namun, pala sebenarnya telah dikenal bahkan sebelumnya dalam budaya dan perdagangan di wilayah Asia Tenggara.

Secara filologis, ada rekam sejarah yang mencatat rempah dan wilayah Nusantara klasik di antaranya manuskrip Sulaiman As-Sirafi (w. 851) bertajuk “Akhbar al-Shin wa al-Hind”, Ibnu Khordadhbeh (w. 846) berjudul “Al-Masalik wa Mamalik”, Ibnu al-Faqih (w. 902) “Kitab Buldan”, dan Al-Mas’udi (w. 943) “Muruj az-Zahab”.

Catatan perjalanan ke Bumi Nusantara juga ditemukan dari lembaran pelancong Arab-Persia yakni Buzurgh Ibn Syahriyar Ramahurmuz (w. 1009) dalam bukunya “Aja’ib al-Hindi”. Kejayaan, sumber daya alam yang melimpah, masyarakat yang santun toleran, dan hewan tumbuhan yang ajaib (sering diasumsikan horor) dicatat sebagai sejarah bagi bangsa Arab.

Anthony Reid (2020: 35) mengisahkan bahwa rempah-rempah lebih menarik minat orang Eropa, karena ini barang langka berharga yang mereka tuju dengan beelayar melintasi bumi. Berbagai rempah lainnya digunakan sebagai bahan penyedap makanan dan obat-obatan seperti asam, kunyit, jahe, kemukus, dan calamus (Lodewycjsz 1958: 140 dan Dampier 1699: 88).

Nusantara dalam kurun niaga antara 1450-1680, dicatat oleh Onghokham dengan bahasa Melayu sebagai bahasa perantara (lingua franca) antara interaksi dagang China, India, dan Asia Tenggara. Banyak istilah Melayu yang memasuki bahasa Inggris seperti Kompong (Kampung atau Compound) atau Gudang (Godown).

Terlepas dari segala hal, kita adalah bangsa yang telah mengukir sejarah dengan martabat, dan takdir kita adalah meneruskan jejak kemartabatan ini. Seperti Saka yang penuh semangat dan rasa keingintahuan (curiosity) tinggi layaknya anak pada umumnya, kita sedang menjelajahi wilayah-wilayah yang belum terjamah, mencari celah untuk mengisinya dengan inovasi dan produksi yang tak tertandingi.

Salam
Bekasi, 28 Agustus 2023
Atunk F Karyadi